Keseimbangan dan harmoni adalah dua konsep penting dalam seni rumah tradisional Indonesia. Filosofi ini mencerminkan keindahan dan keutuhan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Dalam budaya Indonesia, rumah bukan hanya tempat tinggal, namun juga merupakan simbol dari kesejahteraan dan keselarasan antara manusia dan alam.
Menurut Bapak Soedarmadji JH Damais, seorang pakar seni budaya Indonesia, keseimbangan dan harmoni dalam seni rumah mencerminkan filosofi hidup masyarakat Indonesia yang menghargai kebersamaan dan kedamaian. Rumah adalah tempat di mana semua anggota keluarga bisa berkumpul, berbagi cerita, dan saling mendukung satu sama lain.
Dalam seni rumah tradisional Indonesia, keseimbangan dan harmoni tercermin dalam tata letak ruang, pemilihan material, dan ornamen-ornamen yang digunakan. Setiap unsur dalam rumah memiliki makna dan simbol tertentu yang mengarah pada menciptakan keseimbangan dan harmoni. Misalnya, penggunaan warna-warna alami seperti cokelat, hijau, dan biru dapat menciptakan suasana yang tenang dan damai.
Sebagai contoh, dalam seni rumah Jawa, terdapat konsep “sungkeman” yang melambangkan rasa hormat dan kesetaraan antara anggota keluarga. Menurut Prof. Dr. Kuntowijoyo, seorang ahli budaya Jawa, “Sungkeman adalah bentuk pengakuan akan adanya keseimbangan dan harmoni antara manusia dan alam, antara manusia dan manusia.”
Dalam era globalisasi seperti sekarang, nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dalam seni rumah tradisional Indonesia perlu dilestarikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami filosofi seni rumah, kita dapat belajar untuk hidup secara seimbang dan harmonis dengan lingkungan sekitar.
Sebagai penutup, mari kita jaga dan lestarikan nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dalam seni rumah tradisional Indonesia, karena rumah bukan hanya tempat tinggal, namun juga merupakan cerminan dari kehidupan kita. Seperti yang dikatakan oleh Soekarno, “Rumah adalah tempat di mana kita berteduh dari terpaan badai, tempat di mana kita menemukan kedamaian dan kehangatan.”